Sebuah karya tulis hebat lahir dari seorang putra kelahiran Gunungkidul.
Buku setebal 5 cm terdiri 823 halaman ini mengupas tuntas pernak-pernik kebudayaan Gunungkidul lengkap dengan telaah filosofis, mitos, dan tradisinya.
Buku putih bersampul gambar tokoh “Penthul dan Tembem” warna merah menyolok ini diberi judul “Gunungkidulan”.
Penulisnya hanya menggunakan nama “wonggunung”, tidak ada penjelasan secuilpun tentang apa siapa penyusun buku sangat menarik ini.
Informasi yang diperoleh Tribunjogja.com, penulisnya menerbitkan buku “babon Gunungkidul” ini dalam jumlah terbatas, menggunakan dana pribadi alias penerbitan buku indie (indie label). Ia pun tidak mengomersialkan bukunya ini.
Namun, bila ada yang ingin mengoleksinya, bisa memesan dengan mengganti biaya produksi dan ongkos kirimnya.
Secara fisik, dimensi buku Gunungkidulan berbahasa Indonesia dan Jawa ini serupa dengan buku-buku besar karya para penulis hebat lain.
Antara lain buku Perang Salib, Sejarah Tuhan, Berperang Demi Tuhan, sederet karya Karen Amstrong yang diproduksi penerbit Serambi dan Mizan. Juga hampir seukuran dengan buku Stalin: Kisah-kisah yang Tak Terungkap karya Simon Sebag Montefiore (Alvabet).
Buku Gunungkidulan berdimensi B5 (17,5×25 cm) yang memiliki sampul keras (hard cover) ini seukuran dengan buku legendaris karya Gubernur Jenderal Inggris untuk Hindia Belanda, Sir Stamford Raffles: History of Java.
Setelah menelusuri ke sejumlah kalangan, diperoleh kontak ke penulis yang tetap enggan menyebutkan jati dirinya secara terbuka. “Saya wongggunung, saya ingin pembaca menikmati maupun mencibir kontennya saja,” kata sang penulis buku.
Sepintas, wonggunung ini menjelaskan maksud tujuan penerbitan buku indie label ini sebagai upaya pengarsipan tertulis pandangan dunia dan pangudorosonya tentang hal ihwal Gunungkidul, tanah kelahirannya.
Pemilihan gambar sampul sosok “Penthul dan Tembem” sekaligus back covernya yang figur salah seorang pemain reog, bukan tanpa alasan. Sosok-sosok itu menurut penyusun buku sangat khas Gunungkidul.
Mereka yang dilahirkan dan tumbuh besar di Gunungkidul pasti familier dengan sosok-sosok pemain seni tradisi reog Gunungkidul ini. Kesenian rakyat ini diketahui sarat pesan, nilai, dan penuh simbolisasi sejarah kebudayaan leluhur Jawa.
Tentang isi buku yang merupakan turunan naskah Gunungkidul: Antara Manusia, Arkeo-Narasi, Kosmologi dan Mitologi ini mengulas banyak aspek.
Ada bedah istilah-istilah ndeso, tempat/situs bersejarah, kebiasaan rakyat, alat kesenian, kulinari, mitos pohon tertentu hingga arsitektur.
“Dhingklik”, yang bagi sebagian orang mungkin tempat duduk atau benda biasa saja, di buku ini diulas fungsi, makna dan filosofinya bagi warga desa. Bahkan dhingklik ini diadopsi dalam bentuk permainan anak-anak “jadul” yang menggambarkan persatuan dan kegembiraan.
Ada juga “Glindhing”, salah satu kekayaan kuliner khas Gunungkidul yang juga sangat dikenal luas masyarakat jadul. Sebagai lauk makanan, glindhing ini sejajar dengan tempe, tahu, gereh, iwak ayam, iwak kali, iwak sapi, iwak laut dan lain-lainnya.
Glindhing Gunungkidulan ini mewujud dalam bentuk bulatan (seperti bakso), tapi berupa cacahan daging dan tulang plus parutan kelapa.
Bahan baku utama bisa daging dan balungan ayam atau burung dara yang kemudian dikukus menggunakan alat bernama “kukusan” dari sayatan bambu.
Artikel tentang “Glindhing” ini dituturkan dalam bahasa Jawa. Dijelaskan juga makna filosofis glindhing yang juga dimaknai sebagai perputaran (hidup). Dalam khasanah bahasa Indonesia dikenal istilah gelinding atau menggelinding, yang artinya bergerak berputar ke depan.
Masih ada banyak hal menarik tentang Gunungkidulan, yang bisa mengingatkan kaum perantauan, generasi muda dari Gunungkidul tentang hal ihwal serta pernik-pernik khas daerahnya. Karenanya buku ini sangat menarik, dan sejauh ini merupakan “ensiklopedi” Gunungkidul yang populis.
Sebagai buku bagus, barangkali pembaca di beberapa bagian akan sedikit terganggu dari segi pengkalimatan, yang terasa panjang-panjang, nyaris tanpa jeda.
Penyusun buku agaknya belum terlalu memperhatikan aspek yang bisa membuat nyaman orang membaca ini.(*)
Baca Juga:
2 Oktober Hari Batik Nasional, Ini Awal Mula Sejarahnya Sejak Era Soeharto Hingga SBY