Suara Gamelan beserta rombongan manusia menggunakan pakaian adat dan kostum-kostum unik
berjalan melintasi jalan Monjali menuju pinggir sungai Code, Dusun Gemawang, Mlati, Sleman, Kamis (21/9/2017).
Festival Sumbu Imajiner Tahun 2017 yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Kab Sleman ini
menghadirkan 38 grup pawai selama tiga hari berturut-turut, dari hari ini, Kamis (21/9/2017) sampai dengan Sabtu, 23 September 2017.
Eko Ferianto selaku Kepala Seksi Perlindungan Pelestarian Bidang Kesenian Dinas Kebudayaan Kab Sleman menuturkan, nantinya 15 grup pawai dari pagi hingga malam akan berganti-gantian meramaikan acara tersebut.
“Malam harinya kita juga akan menampilkan berbagai kesenian unggulan, khusus hari ini menampilkan lima penata tari yang akan mengambil cerita dari Panembahan Senopati sebelum mendapatkan tahtanya,” ungkap Eko.
Pada hari kedua, kemudian akan dilanjutkan dengan pagelaran ketoprak yang disutradarai oleh lima orang sutradara.
Lalu hari terakhirnya ditampilkan wayang kulit dengan kolaborasi antara tiga dalang anak dan tiga dalang senior.
“Malam terakhirnya itu wayang kulit, ceritanya Niroyono Krido,” ungkap Eko.
Eko menjelaskan Festival Sumbu Imajiner Tahun 2017 ini adalah sebagai implementasi Kabupaten Sleman yang dilewati cerita mitologi tentang garis imajiner Yogyakarta, yaitu yang menghubungkan laut selatan, Keraton, Tugu Putih, dan Gunung Merapi.
“Tujuan diselenggarakannya acara ini untuk menggugahkan dan mengingatkan kembali bahwa kebudayaan itu berasal dari masyarakatnya sendiri,” ujar Eko.
Selain itu ia juga berharap dengan terselenggaranya FestivalSumbu Imajiner Tahun 2017 ini, bisa meramaikan kesenian tradisional kerakyatan dan menjadi tuannya di negara sendiri.
“Orang-orang yang datang kesini kan bisa berinterkasi langsung. Kita akan menggaungkan terus bahwa Kabupaten Sleman sedang menuju Sleman yang berbudaya, sesuai dengan misinya,” jelas Eko.
Purbantara Surautama selaku pembina dari Padukan Dusun Meranggen yang ikut pada pawai tersebut telah melakukan persiapan selama 10 hari untuk bisa mengikuti festival ini.
Ia bersama para anggota yang lainnya membawa arak-arakan berupa Dewi Sri dan Ular Sang Sadana.
Arakan Dewi Sri tersebut tingginya sekitar empat meter yang dipikul oleh empat orang dengan menggunakan pakaian adat Jawa.
Selain itu juga Ular Sang Sadana yang dibuat oleh kelompoknya tersebut dimainkan menyerupai barongsai naga.
“Jadi kita hadir disini ingin menceritakan terbentuknya dusun Meranggen yang terjadi saat ada hama berjumlah besar memakan padi di Dusun, sehingga hanya meninggalkan tangkai padi saja, oleh karena itu nama Dusunnya Meranggen,” cerita Purbantara
Selain kelompok dari Purbantara, kelompok-kelompok lainnya pun menggunakan kostum yang bervariasi, sebagai contoh ada yang menggunakan kostum menyerupai Nyi Roro Kidul, dan tokoh-tokoh Jawa lainnya.
Tidak luput pula, masing-masing kelompok membawa alat musik lengkap, berupa gamelan yang dibawa menggunakan mobil.
Nurbatin Kuncoro, seorang penonton dan juga kebetulan kepala Dukuh Pogung Lor menyampaikan apresiasinya terhadap festival tersebut.
Ia rasa dengan adanya festival ini bisa menjaga dan melestarikan budaya yang menjadi ciri khas daerah.
Festival ini juga sebagai hiburan masyarakat, dan bisa mengenalkan kembali budaya daerah kepada generasi muda. Terutama menanamkan cinta budaya yang ada di Kabupaten Sleman,” kata Nurbatin.