Supaya si Cebol Tak Dipandang Sebelah Mata

Supaya si Cebol Tak Dipandang Sebelah Mata

Puluhan penggemar ayam kate dari berbagai daerah berkumpul di Rumah Budaya Siliran, Panembahan, Kraton, Kota Jogja, Minggu (28/1). Mereka mengikuti Kontes Ayam Kate Nasional untuk melambungkan pamor ayam ini agar selevel dengan ayam dari Malaysia.

Satu per satu ayam kate dinaikkan ke meja dewan juri. Unggas bertubuh mungil dan berkaki pendek ini dinilai dari bentuk tubuh, kepala, bulu, kaki, ekor, hingga jengger. Ada beberapa kategori dalam kontes ini, yakni ceper, standar, betina, remaja, dan unik. “Untuk kategori ceper, maksimal panjang kaki tiga sentimeter, semakin pendek semakin bagus,” kata Bimo Harjanto, anggota kelompok penyelenggara Kontes Ayam Kate Nasional.

Meski yang terpendek dinilai bagus, aspek penailaian lain juga penting. Postur perlu disesuaikan dengan bentuk bodi. Dada mesti besar, bulu ekor menjulang, serta jengger juga kudu gede. Ada 70 peserta yang ikut kontes. Masing-masing dari mereka boleh mengikutsertakan lebih dari satu ekor kate. Penilaian tidak hanya melibatkan juri, tetapi juga penonton. Setiap pengunjung diperkenankan memilih ayam paling disukai untuk katagori terunik dengan memberikan bendera kecil di atas kurungan ayam.

Kontes ayam kate tersebut baru kali pertama diselenggarakan oleh Paguyuban Pitik Kate Jogja-Magelang (PKJM). Ketua PKJM Akip Candra Winata mengatakan sebelumnya sudah ada kontes-kontes berskala kecil yang diselenggarakan oleh para penghobi kate. Salah satunya digelar pada tahun 1990-an lalu di Pasar Kotagede. Namun, kontes itu tidak terlalu membetot perhatian karena akses informasi masih terbatas.

Saat ini, dengan maraknya media sosial, para penyuka kate mulai bergeliat kembali untuk menggelar kontes. Keinginan tersebut tidak lepas dari upaya mempertahankan ayam kate agar tidak punah, juga untuk menaikkan pamor ayam jenis ini agar memiliki nilai jual tinggi.

“Nilai jual kate baru merangkak naik sejak dua tahun terakhir setelah ada kontes-kontes,” kata Akip. Jauh sebelumnya, ayam kate tidak diminati banyak orang karena harganya rendah, bahkan di bawah Rp50.000. Harga tersebut tidak sebanding dengan biaya pemeliharaan dan pakannya.

 

Selain nilai jual rendah, pamor kate juga kalah jauh dengan ayam jenis serama. Serama sudah sering dikonteskan di tingkat nasional, bahkan internasional. Harga serama mencapai sampai jutaan rupiah per ekor.
“Padahal kate dan serama masih satu jenis,” kata Akip.

Serama sudah melalui perkawinan silang sehingga ayam tersebut pun kini menjadi ayam terkecil di dunia. Serama pun mulai booming pada 1990-an di Malaysia. Berbeda dengan serama, kate memiliki bentuk tubuh lebih besar, dada datar, dan kaki pendek. Sementara serama berbodi lebih kecil, dada membusung, dan kaki lebih tinggi. Meski ada perbedaan, kedua jenis ayam ini merupakan ayam hias. Jarang sekali orang memelihara kate dan serama untuk konsumsi apalagi petelur.

“Dengan adanya kontes, harga kate sudah ratusan ribu bahkan jutaan rupiah per ekor. Jadi ayam kate ini tidak lagi dipandang sebelah mata,” kata dia.

PKJM terbentuk sejak Agustus 2016 lalu. Perkumpulan penghobi kate itu dibikin setelah paguyuban kate tingkat nasional didirikan tiga bulan sebelumnya. Peternak kate saat ini lebih banyak berada di DIY. Hanya sebagian yang tinggal di Jawa Tengah.  “Paguyuban ini dibuat untuk mewadahi peternak kate yang sekarang mulai ramai,” kata dia.

Salah satunya Mahatma Radyakusuma Saputro. Pemuda asal Sidoarum Godean sudah sejak sekolah dasar memelihara kate. Ia tertarik dengan ayam ini karena dari bentuknya yang unik. Awalnya ia hanya ikut memberikan pakan kate milik pamannya, tetapi lama-lama memelihara sendiri. Sekarang kate yang dimilikinya berjumlah 30-an ekor.

Ia mengaku tidak terlalu repot mengurus kate, karena hampir sama dengan ayam pada umumnya. Sebelum kontes, biasanya ia berusaha agar kate yang akan dilombakan tetap di kandang atau tidak diliarkan demi menjaga kebersihan agar bulunya tidak rusak. “Kalau musim pancaroba biasanya saya sudah persiapkan obat karena kate, juga seperti ayam, umumnya terkadang sakit,” kata dia.

Mahatma adalah peternak yang mengikuti perkembangan zaman. Dia hampir tidak pernah menjual piaraannya di pasar, karena harganya yang relatif murah.  “Saya membuka penjualan melalui media sosial sejak setahun terakhir.”

source

BACA JUGA:

Srimpi dan Tari Khas Jogja Lainnya Dipentaskan di Abu Dhabi

Komunitas Sepeda Motor Bantul Deklarasikan Antiklithih

‘Sedayu Art’ di JNM Tampilkan Potensi dan Kreasi Siswa SMA

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *