Festival Kembul Sewu Dulur, Rajutan Persaudaraan dari Tepi Sungai Kayangan

Festival Kembul Sewu Dulur digelar di Bendung Kayangan, Desa Pendoworejo, Kecamatan Girimulyo, Rabu (15/11/2017).

Ini merupakan bagian dari tradisi Rebo Pungkasan atau Rabu terakhir di Bulan Sapar dalam kalender Jawa.

Rangkaian festival diisi dengan berbagai acara, mulai dari pentas kesenian tradisional hingga karnaval budaya.

Kenduri dan santap bersama (dhahar kembul) menjadi puncak dari rangkaian festival budaya tersebut.

Ratusan warga dari berbagai wilayah pedukuhan di Pendoworejo datang membawa aneka makanan lalu berkumpul di tepi sungai Kayangan, tepatnya di area atas bendungan.

Duduk di atas bebatuan sungai dengan hanya beralas tikar, warga beramai-ramai menyantap hidangan yang telah dibawa setelah doa syukur kepada Sang Pencipta dipanjatkan.

Warga dari berbagai rentang usia dan jenis stasus sosial larut dalam keguyuban dhahar kembul tersebut, seperti saudara kandung meski tak punya hubungan darah langsung.

Maka itu, festival tersebut dinamakan Kembul Sewu Dulur atau santap bersama seribu saudara.

“Ini cara kami mengucapkan syukur atas semua berkah yang diberikan Tuhan selama ini. Sudah puluhan tahun dilakukan kenduri selamatan di sini dan saya selalu ikut,” kata seorang warga Pedukuhan Tileng, Sukijem (50).

Sama seperti warga lainnya, Sukijem pada hari itu juga membawa satu tenong berisi aneka makanan dan lauk pauk.

Di antaranya nasi golong sejodo (nasi putih), panggang emas (telor ceplok), sayur tempe dan bakmi, dan beraneka lauk lain.

Bersama sejumlah tetangganya, ia menyunggi tenong tersebut dan membawanya ke Bendung Kayangan.

Sukijem mengaku senang mengikuti acara tersebut karena merupakan sebuah tradisi turun-temurun di desanya.

Warga lainnya dari Pedukuhan Turusan, Purwanti (50), juga menyampaikan hal senada.

Rebo Pungkasan disertai dhahar kembul menurutnya tradisi sederhana yang penuh makna.

Selain untuk mengucap syukur atas karunia Sang Pencipta, acara tersebut juga menjadi ajang berkumpul para warga untuk menjalin kerukunan dan keguyuban di tengah aktivitas keseharian.

“Utamanya adalah mengucap syukur sekaligus guyub dengan tetangga,” kata Purwanti.

Sembari dhahar kembul, dilangsungkan pula ritual ngguyang jaran atau membersihkan kuda lumping yang juga jadi kesenian masyarakat setempat.

Ritual ini dimaksudkan sebagai pembersihan diri sebelum menjalani kehidupan di bulan-bulan selanjutnya setelah Sapar.

source

BACA JUGA:

Program Tour Menikmati Karya Patung dan Goes To School

Unik, Sawah di Kasihan, Bantul Membentuk Pola “I Love”

Carica ala Parangtritis, Oleh-Oleh Baru Dari Jogja

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *