Penerbitan Peraturan Presiden No. 87/2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter menyisakan masalah di daerah. Mayoritas sekolah di Kebupaten Bantul masih kesulitan menerapkan lima hari sekolah.
Ada beberapa kendala yang dihadapi, di antaranya ketersediaan tenaga pendidik dan sarana prasarana sekolah. Merujuk hasil sensus Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Bantul, masih sedikit sekolah yang sanggup memenuhi standar pelayanan minimal (SPM). Hanya segelintir SD dan SMP negeri yang telah 100% mencapai SPM.
“Ada yang baru sanggup 40% (SPM),” kata Kepala Disdikpora Bantul, Didik Warsita tanpa merinci berapa jumlah SD maupun SMP negeri tersebut pada Sabtu (9/9/2017).
Padahal, lanjut Didik, penerapan lima hari menuntut sekolah dapat 100% memenuhi SPM. Salah satu contoh indikator SPM yang harus dipenuhi ialah ketersediaan musala dan ruang makan. Penerapan lima hari akan menimbulkan konsekuensi para siswa bakal berada di lingkungan sekolah sekitar delapan jam. Praktis siswa yang beragama Islam harus salat di sekolah. Begitu pula dengan waktu makan siang yang juga dilalui saat berada di sekolah.
“Ada [sekolah] yang telah memiliki musala dan kantin. Tapi, ukurannya tak sebanding dengan banyaknya siswa,” ucapnya.
Permasalahan makan siang tak berenti sampai di situ. Didik juga mengkhawatirkan kemungkinan siswa bakal membawa bekal dari rumah dengan menu yang beragam dan akan menimbulkan kecemburuan sosial. Apalagi keadaan keluarga siswa satu dengan yang lain tentu berbeda. Ada yang dari keluarga mampu tapi asa pula yang dari keluarga kurang mampu.
Namun menurut Didik penerapan regulasi baru ini sebenarnya membuka ruang bagi sekolah untuk menerapkan lima hari atau enam hari sekolah. Masalah muncul ketika sekolah menerapkan enam hari sekolah namun tidak sedikit tenaga pendidik yang berstatus sebagai ASN yang sebenarnya masuk selama lima hari kerja. Kemungkinan penerapan yang berbeda itu akan menimbulkan ketidakseragaman di satu wilayah. Pihaknya merasa janggal andai ada dua model penerapan masuk sekolah di Bantul. Meskipun ia menyebut Disdikpora telah menunjuk empat dari 47 SMP negeri sebagai pilot project lima hari sekolah. Yaitu, SMPN 1 dan 2 Bantul, SMPN 1 Sewon serta SMPN 3 Banguntapan.
Kendati begitu, pihaknya menyerahkan sepenuhnya penerapan lima atau enam hari kepada masing-masing sekolah.
“Yang terpenting dukungan komite dan wali murid,” katanya. Menurutnya apapun keputusannya, Disdikpora bakal tetap berkoordinasi dengan setiap sekolah.
Berbeda halnya dengan Disdikpora yang menunjuk beberapa sekolah untuk pilot project penerapan lima hari sekolah, Kemenang mendorong terwujudnya fullday education. Caranya dengan menginisiasi sekolah ramah anak dan pembelajaran dengan sistem contextual learning (CTL). Kepala Subdir Kurikulum dan Evaluasi Direktorat KSKK Madrasah Ditjen Pendidikan Islam Kementrian Agama RI, Basnang Said menjelaskan konsep ini berbeda dengan fullday school yang dimaknai dengan sekolah dengan agenda dan waktunpembelajaran yang padat.
Dengan fullday education, baik orang tua wali maupun guru didorong untuk mengubah mindset bahwa kegiatan belajar mengajar hanya dapat dilangsungkan di dalam kelas dan lingkungan sekolah saja. Belajar sebenarnya bisa dilakukan di mana saja, bahkan di rumah atau di pasar sekalipun dengan pembelajaran model CTL.
“Kami dorong fullday education, bukan fullday school,” katanya saat deklarasi sekolah ramah anak di MIN 1 Bantul beberapa waktu yang lalu.